Selasa, 08 November 2011

Bagaimana Memulai Perkenalan

Suatu hari di tahun 1951 M. saya berada di pejabat cabang Ikhwanul Muslimin di
Jalan Iskandarani, Iskandaria. Lalu ada dua orang datang, yang sudah mempunyai janji
dengan salah seorang teman. Saya sambut kedatangan mereka dengan menyebut
nama-nama mereka. Tatkala teman yang mereka tunggu itu datang, mereka berkata
kepadanya, "Kami tidak mengenalnya sebelum ini, tetapi bagaimana ia mengenal
nama kami?" Kemudian saya diajak duduk bersama. Lalu saya berkata kepada
keduanya, "Bukankah kalian berdua setiap pagi naik trem dari stesen Rashafah?"
Keduanya menjawab, "Ya." Saya berkata, "Saya setiap pagi juga naik trem yang
sama." Mereka berkata, "Akan tetapi kami tidak melihat anda bersama kami." Saya
berkata, "Kerana saya memakai seragam militer." Keduanya teringat dan tersenyum
lalu berkata, "Bagaimana Anda mengetahui nama kami?" Saya berkata, "Saya
mendengar salah seorang di antara kalian berkata, 'Selamat pagi, Muhammad,'
lalu yang satunya menjawab, 'Selamat pagi, Ahmad.'" Keduanya berkata, "Untuk
apa Anda menghafal nama kami?" Saya menjawab, "Jawabannya adalah yang terjadi
saat ini."
Tabiat dakwah kita adalah saling mengenal, dan saya yakin bahawa pada suatu saat
dakwah kita akan dapat menghimpun orang-orang yang berjiwa baik dan
berkepribadian mulia. Kejadian di atas sangat membekas di hati keduanya.
Imam Hasan Al-Banna adalah da'i yang sangat gemar menghafal nama. Ketika Dewan
Tinggi Militer mengumumkan pemindahan beliau ke kota Qina di wilayah Sha'id
(Mesir) pada tahun 1941 M., pada waktu itu diadakan penyambutan kedatangan
beliau oleh pemuda-pemuda yang bergabung dalam gerakan pramuka, yang baru
pertama kali itu mereka melihat beliau. Ustadz Hasan Al-Banna berjabat tangan
dengan pemuda-pemuda itu dan menyebut beberapa nama mereka. Tatkala beliau
ditanya tentang bagaimana beliau bisa mengenal nama-nama tersebut, beliau
menjawab, "Ketika saya menandatangani kad anggota pramuka, saya menghafal
nama yang tertera dan raut wajahnya."
Pada tahun 1951 M. ada seorang tamu yang berkunjung ke pejabat cabang di
Rashafah. Ketika saya sambut kedatangannya dan saya tanyakan namanya, ia menjawab,
"Muhammad Syakir Gharbawi." Saya bertanya, "Dari Ismailia?" Ia menjawab,
"Ya. Anda tahu?" Saya berkata, "Sebentar." Lalu saya mengeluarkan buku catatan dari
laci meja, di situ tercatat bahawa pada tahun 1936 M. ada seorang pemuda utusan
Ustadz Hasan Al-Banna yang bernama Muhammad Syakir Gharbawi datang ke
Rasyid dalam rangka mengumpulkan dana untuk kaum mujahidin Palestina. Tatkala
target yang telah dicanangkan tidak terpenuhi, pemuda itu menangis. Ketika
Muhammad Gharbawi mengetahui isi catatan itu, ia langsung menangis dan
berkata, "Demi Allah, saya tidak menyangka kalau kejadian itu bisa terkenang
setelah waktu berlalu begitu lama."
Waktu itu saya sedang naik bus, tiba-tiba ada seorang pemuda berjanggut yang
berusia tidak lebih dari tujuh belas tahun naik dan duduk di sebelah saya. Pada waktu
itu janggut merupakan pemandangan yang sangat jarang ditemui. Hati saya
mengatakan, "Ini adalah kesempatan yang baik untuk berkenalan dengannya." Lalu
dengan senyum tipis saya bertanya kepadanya, "Maaf, kalau boleh saya tahu Saudara
ini memanjangkan janggut kerana tradisi atau kerana ibadah?" Kelihatannya ia tidak
faham dengan pertanyaan saya, lalu saya ulangi, "Kerana sunnah atau kerana yang
lain?" Ia menjawab, "Kerana sunnah Rasulullah saw." Lalu saya berkata dengan
gembira, "Masya Allah, Allahu Akbar!" Kemudian saya cepat-cepat mengulurkan
tangan dan memperkenalkan din, "Saya saudaramu seaqidah dari Rasyid. Saya
seorang pedagang." Ia pun lalu memperkenalkan diri, "Saya saudaramu seaqidah juga.
Saya siswa sekolah menengah atas di Al-Abbasiyah." Kemudian saya hafal nama dan
alamatnya pada waktu itu juga.
Saya sengaja memulai dengan memperkenalkan nama saya, kerana jika
menanyakan namanya terlebih dahulu mungkin ia akan curiga, lebih-lebih situasi
waktu itu sangat rawan.
Setelah melewati beberapa terminal, ia turun dan saya merasa gembira kerana
dapat berkenalan dengannya. Setelah kejadian itu, saya pun sering menghubunginya.
Di setiap perjalanan, saya biasa membawa mushaf, quran, atau majalah.
Biasanya, tatkala Anda membaca quran, orang yang duduk di sebelah Anda akan
melirik dan ikut membaca. Di saat inilah Anda dapat meminjamkan quran pada orang
tersebut. Setelah selesai membaca, ia akan mengembalikan quran itu dengan
mengucapkan terima kasih. Di saat itulah Anda dapat berkenalan dengan memulai
pembicaraan tentang topik yang dibahas dalam quran tersebut dan bagaimana
tanggapan Anda tentang topik tersebut.
Jika memang tidak memungkinkan, sebuah perkenalan tidak harus diakhiri
dengan mengetahui nama masing-masing, tetapi yang perlu diperhatikan adalah
hendaknya pembicaraan yang berlangsung itu berkisar sekitar dakwah islamiah,
kerana tugas kita adalah menyebarkan fikrah yang lslami. Mudah-mudahan Anda bisa
bertemu dengannya pada kesempatan yang lain dan bisa berkenalan lebih jauh lagi.
Kadang-kadang duduk di sebelah saya seseorang yang belum saya kenal, dan
saya berpikir bagaimana cara memulai pembicaraan. Jika saya lihat orang itu berkulit
putih, saya bertanya kepadanya dengan pertanyaan yang kedengarannya bodoh,
"Apakah Saudara dari Sudan?" Lalu ia melihat kepada saya dengan pandangan
kehairanan dan seakan-akan ingin berkata, "Apakah Anda buta?" Akan tetapi saya
mendahului berkata, "Saudara jangan marah, kerana saya pernah melihat orang Sudan
yang berkulit putih. Kalau begitu, Saudara ini dari mana?" Dengan begitu saya telah
membuka tirai kebisuan di antara kami, dan setelah itu kami dapat melanjutkan
pembicaraan. Jika orang itu berkulit coklat maka saya bertanya, "Apakah Saudara dari
Qubrus?" Begitulah seterusnya. Inilah cara yang kadang-kadang saya pakai untuk
membuka pembicaraan.
Suatu saat saya diundang untuk memberikan ceramah di pejabat cabang Ikhwanul
Muslimin di Matras, terletak di pinggiran kota Iskandaria. Pejabat cabang itu terletak
jauh dari jalan raya, kira-kira satu kilometer. Tatkala saya turun dari bus, ada
beberapa pemuda yang juga turun. Meskipun saya sudah mengetahui letak pejabat
cabang itu, tetapi saya minta mereka agar mahu menunjukkan tempat pejabat
tersebut. Di tengah perjalanan kami berbincang-bincang tentang dakwah islamiah,
dan tak lupa saya singgung juga acara yang diadakan di pejabat cabang Ikhwanul
Muslimin itu. Setelah sampai di tempat tujuan, beberapa dari pemuda tersebut ikut
bersama saya, dan di pejabat itulah kami lebih mengenal satu sama lain.
Suatu ketika kami dalam perjalanan dari Iskandaria ke Asyuth ibukota Sha'id.
Perjalanan itu membutuhkan waktu yang lama, sehingga kami membawa banyak
makanan ringan. Waktu itu kereta api macet di tengah jalan lebih dari dua jam.
Didorong oleh hadits, "Barang-siapa mempunyai kelebihan bekal, hendaklah memberikannya
kepada orangyang tidak mempunyai bekal," (HR. Muslim) maka salah seorang di
antara kami berdiri dan membagi-bagikan makanan kepada para penumpang. Dengan
demikian kami sudah membuka pintu untuk saling mengenal, dan kejadian itu
meninggalkan kesan yang baik di hati mereka.
Dulu, sebelum mengenal cara-cara yang islami dalam berdakwah, saya sering
menggunakan cara-cara hasil ijtihad saya sendiri untuk memulai perkenalan. Suatu
waktu saya pernah dengan sengaja menginjak kaki orang yang berdiri di sebelah
saya sewaktu naik trem. Orang itu lalu berteriak marah, "Apakah Anda buta?" Saya
menjawab dengan tenang, "Jangan terburu marah, wahai saudaraku. Memang saya ini
seperti orang buta, kerana penglihatan saya yang sudah melemah." Lalu orang
tersebut meminta maaf. Dengan demikian saya bisa mulai berkenalan

0 komentar:

Posting Komentar

terima kasih karna tlah berkunjung ke sharetex...
silahkan di komen....

 

artikel terbaru

all posts

Followers

pengunjung

free counters Web Directory

Add to Google Reader or Homepage

sharetex Copyright © 2011 Not Magazine 4 Column is Designed by ojasetiawan Sponsored by sharetex.blogspot.com